Pages

Saturday 9 April 2011

Kapitan pattimura



Tokoh Muslim ini sebenarnya
bernama Ahmad Lussy, tetapi dia
lebih dikenal dengan Thomas
Mattulessy yang identik Kristen.
Inilah Salah satu contoh
deislamisasi dan penghianatan
kaum minor atas sejarah pejuang
Muslim di Maluku dan/atau
Indonesia umumnya.

Nunu oli
Nunu seli
Nunu karipatu
Patue karinunu

(Saya katakan kepada kamu
sekalian (bahwa) saya adalah
beringin besar dan
setiap beringin besar akan
tumbang tapi beringin lain akan
menggantinya
(demikian pula) saya katakan
kepada kamu sekalian (bahwa)
saya adalah batu besar
dan setiap batu besar akan
terguling tapi batu lain akan
menggantinya).

Ucapan-ucapan puitis yang
penuh tamsil itu diucapkan oleh
Kapitan Ahmad Lussy atau
dikenal dengan sebutan
Pattimura, pahlawan dari Maluku.
Saat itu, 16 Desember 1817, tali
hukuman gantung telah terlilit di
lehernya. Dari ucapan-
ucapannya, tampak bahwa
Ahmad Lussy seorang patriot
yang berjiwa besar. Dia tidak
takut ancaman maut.
Wataknya teguh, memiliki
kepribadian dan harga diri di
hadapan musuh. Ahmad Lussy
juga tampak optimis. Namun
keberanian dan patriotisme
Pattimura itu terdistorsi oleh
penulisan sejarah versi
pemerintah. M Sapija, sejarawan
yang pertama kali menulis buku
tentang Pattimura, mengartikan
ucapan di ujung maut itu dengan
"Pattimura-Pattimura tua boleh
dihancurkan, tetapi kelak
Pattimura-Pattimura muda akan
bangkit". Namun menurut M
Nour Tawainella, juga seorang
sejarawan, penafsiran Sapija itu
tidak pas karena warna tata
bahasa Indonesianya terlalu
modern dan berbeda dengan
konteks budaya zaman itu.

Di bagian lain, Sapija menafsirkan,
"Selamat tinggal saudara-
saudara", atau "Selamat tinggal
tuang-tuang". Inipun disanggah
Tawainella. Sebab, ucapan seperti
itu bukanlah tipikal Pattimura
yang patriotik dan optimis.
Puncak kontroversi tentang siapa
Pattimura adalah penyebutan
Ahmad Lussy dengan nama
Thomas Mattulessy, dari nama
seorang Muslim menjadi seorang
Kristen. Hebatnya, masyarakat
lebih percaya kepada predikat
Kristen itu, karena Maluku sering
diidentikkan dengan Kristen.
Muslim Taat

Ahmad Lussy atau dalam bahasa
Maluku disebut Mat Lussy, lahir
di Hualoy, Seram Selatan (bukan
Saparua seperti yang dikenal
dalam sejarah versi pemerintah).
Ia bangsawan dari kerajaan Islam
Sahulau, yang saat itu diperintah
Sultan Abdurrahman. Raja ini
dikenal pula dengan sebutan
Sultan Kasimillah (Kazim Allah/
Asisten Allah). Dalam bahasa
Maluku disebut Kasimiliali.
Menurut sejarawan Ahmad
Mansyur Suryanegara, Pattimura
adalah seorang Muslim yang taat.
Selain keturunan bangsawan, ia
juga seorang ulama. Data sejarah
menyebutkan bahwa pada masa
itu semua pemimpin perang di
kawasan Maluku adalah
bangsawan atau ulama, atau
keduanya.
Bandingkan dengan buku biografi
Pattimura versi pemerintah yang
pertama kali terbit. M Sapija
menulis, "Bahwa pahlawan
Pattimura tergolong turunan
bangsawan dan berasal dari Nusa
Ina (Seram). Ayah beliau yang
bernama Antoni Mattulessy
adalah anak dari Kasimiliali
Pattimura Mattulessy. Yang
terakhir ini adalah putra raja
Sahulau. Sahulau bukan nama
orang tetapi nama sebuah negeri
yang terletak dalam sebuah teluk
di Seram Selatan".

Ada kejanggalan dalam
keterangan di atas. Sapija tidak
menyebut Sahulau itu adalah
kesultanan. Kemudian ada
penipuan dengan menambahkan
marga Pattimura Mattulessy.
Padahal di negeri Sahulau tidak
ada marga Pattimura atau
Mattulessy. Di sana hanya ada
marga Kasimiliali yang leluhur
mereka adalah Sultan
Abdurrahman.
Jadi asal nama Pattimura dalam
buku sejarah nasional adalah
karangan dari Sapija. Sedangkan
Mattulessy bukanlah marga
melainkan nama, yaitu Ahmad
Lussy. Dan Thomas Mattulessy
sebenarnya tidak pernah ada di
dalam sejarah perjuangan rakyat
Maluku.
Berbeda dengan Sapija, Mansyur
Suryanegara berpendapat bahwa
Pattimura itu marga yang masih
ada sampai sekarang. Dan semua
orang yang bermarga Pattimura
sekarang ini beragama Islam.
Orang-orang tersebut mengaku
ikut agama nenek moyang
mereka yaitu Pattimura.
Masih menurut Mansyur,
mayoritas kerajaan-kerajaan di
Maluku adalah kerajaan Islam. Di
antaranya adalah kerajaan
Ambon, Herat, dan Jailolo. Begitu
banyaknya kerajaan sehingga
orang Arab menyebut kawasan
ini dengan Jaziratul Muluk (Negeri
Raja-raja). Sebutan ini kelak
dikenal dengan Maluku.
Mansyur pun tidak sependapat
dengan Maluku dan Ambon yang
sampai kini diidentikkan dengan
Kristen. Penulis buku Menemukan
Sejarah (yang menjadi best seller)
ini mengatakan, "Kalau dibilang
Ambon itu lebih banyak Kristen,
lihat saja dari udara (dari
pesawat), banyak masjid atau
banyak gereja. Kenyataannya,
lebih banyak menara masjid
daripada gereja."
Sejarah tentang Pattimura yang
ditulis M Sapija, dari sudut
pandang antropologi juga kurang
meyakinkan. Misalnya dalam
melukiskan proses terjadi atau
timbulnya seorang kapitan.
Menurut Sapija, gelar kapitan
adalah pemberian Belanda.
Padahal tidak.
Leluhur bangsa ini, dari sudut
sejarah dan antropologi, adalah
homo religiosa (makhluk agamis).
Keyakinan mereka terhadap
sesuatu kekuatan di luar
jangkauan akal pikiran mereka,
menimbulkan tafsiran yang sulit
dicerna rasio modern. Oleh sebab
itu, tingkah laku sosialnya
dikendalikan kekuatan-kekuatan
alam yang mereka takuti.
Jiwa mereka bersatu dengan
kekuatan-kekuatan alam,
kesaktian-kesaktian khusus yang
dimiliki seseorang. Kesaktian itu
kemudian diterima sebagai
sesuatu peristiwa yang mulia dan
suci. Bila ia melekat pada
seseorang, maka orang itu adalah
lambang dari kekuatan mereka.
Dia adalah pemimpin yang
dianggap memiliki kharisma. Sifat-
sifat itu melekat dan berproses
turun-temurun. Walaupun
kemudian mereka sudah
memeluk agama, namun secara
genealogis/silsilah/keturunan
adalah turunan pemimpin atau
kapitan. Dari sinilah sebenarnya
sebutan "kapitan" yang melekat
pada diri Pattimura itu bermula.
Perjuangan Kapitan Ahmad Lussy
Perlawanan rakyat Maluku
terhadap pemerintahan kolonial
Hindia Belanda disebabkan
beberapa hal. Pertama, adanya
kekhawatiran dan kecemasan
rakyat akan timbulnya kembali
kekejaman pemerintah seperti
yang pernah dilakukan pada
masa pemerintahan VOC
(Verenigde Oost Indische
Compagnie).
Kedua, Belanda menjalankan
praktik-praktik lama yang
dijalankan VOC, yaitu monopoli
perdagangan dan pelayaran
Hongi. Pelayaran Hongi adalah
polisi laut yang membabat
pertanian hasil bumi yang tidak
mau menjual kepada Belanda.
Ketiga, rakyat dibebani berbagai
kewajiban berat, seperti kewajiban
kerja, penyerahan ikan asin,
dendeng, dan kopi.
Akibat penderitaan itu maka
rakyat Maluku bangkit
mengangkat senjata. Pada tahun
1817, perlawanan itu
dikomandani oleh Kapitan Ahmad
Lussy. Rakyat berhasil merebut
Benteng Duurstede di Saparua.
Bahkan residennya yang
bernama Van den Bergh
terbunuh. Perlawanan meluas ke
Ambon, Seram, dan tempat-
tempat lainnya.

Perlawanan rakyat di bawah
komando Kapitan Ahmad Lussy
itu terekam dalam tradisi lisan
Maluku yang dikenal dengan
petatah-petitih. Tradisi lisan ini
justru lebih bisa dipertanggung
jawabkan daripada data tertulis
dari Belanda yang cenderung
menyudutkan pahlawan
Indonesia. Di antara petatah-
petitih itu adalah sebagai berikut:
Yami PatasiwaYami PatalimaYami
Yama'a Kapitan Mat LussyMatulu
lalau hato SapambuineMa Parang
kua KompaniaYami yama'a
Kapitan Mat LussyIsa Nusa
messeHario,Hario,Manu rusi'a
yare uleu uleu 'oManu yasamma
yare uleu-uleu 'oTalano utala
yare uleu-uleu 'oMelano lette
tuttua murineYami malawan sua
mena miyoYami malawan sua
muri neyo

(Kami PatasiwaKami PatalimaKami
semua dipimpin Kapitan Ahmad
LussySemua turun ke kota
SaparuaBerperang dengan
Kompeni BelandaKami semua
dipimpin Kapitan Ahmad
LussyMenjaga dan
mempertahankanSemua pulau-
pulau iniTapi pemimpin sudah
dibawa ditangkapMari pulang
semuaKe kampung halaman
masing-masingBurung-burung
garuda (laskar-laskar
Hualoy)Sudah pulang-sudah
pulangBurung-burung talang
(laskar-laskar sekutu pulau-
pulau)Sudah pulang-sudah
pulangKe kampung halaman
merekaDi balik NunusakuKami
sudah perang dengan
BelandaMengepung mereka dari
depanMengepung mereka dari
belakangKami sudah perang
dengan BelandaMemukul mereka
dari depanMemukul mereka dari
belakang)

Berulangkali Belanda
mengerahkan pasukan untuk
menumpas perlawanan rakyat
Maluku, tetapi berulangkali pula
Belanda mendapat pukulan
berat. Karena itu Belanda
meminta bantuan dari pasukan
yang ada di Jakarta. Keadaan jadi
berbalik, Belanda semakin kuat
dan perlawanan rakyat Maluku
terdesak. Akhirnya Ahmad Lussy
dan kawan-kawan tertangkap
Belanda. Pada tanggal 16
Desember 1817 Ahmad Lussy
beserta kawan-kawannya
menjalani hukuman mati di tiang
gantungan.

Nama Pattimura sampai saat ini
tetap harum. Namun nama
Thomas Mattulessy lebih dikenal
daripada Ahmad Lussy atau Mat
Lussy. Menurut Mansyur
Suryanegara, memang ada
upaya-upaya deislamisasi dalam
penulisan sejarah. Ini mirip
dengan apa yang terjadi terhadap
Wong Fei Hung di Cina.
Pemerintah nasionalis-komunis
Cina berusaha menutupi
keislaman Wong Fei Hung,
seorang Muslim yang penuh
izzah (harga diri) sehingga tidak
menerima hinaan dari orang
Barat. Dalam film Once Upon A
Time in China, tokoh kharismatik
ini diperankan aktor ternama Jet
Li.

Indonesia tidak pernah
dimerdekakan dengan
HALELUYA...
tapi Indonesia dimerdekakan
dengan

ALLAAHU AKBAR...


Para Ustadz, Kyai, Santri &
Muslim melawan penjajah yang
menyebarkan ajaran "Tuhan
beranak"

0 komentar:

Post a Comment