Pages

Thursday 7 April 2011

NARSISME

Orang Yunani memiliki tokoh mitologis 'Narsisus' yang jatuh
cinta kepada dirinya sendiri.

Tiap kali memandang dirinya di permukaan air, Narsisus kagum
akan ketampanan wajahnya.

Novelis humoris dan tangkas memainkan ironi, Paulo Coelho,
dalam kisah pembuka
novelnya,menceritakan betapa banyak peri hutan merasa iri
kepada telaga, tempat tiap pagi Narsisus mengagumi dirinya.

"Enak ya kamu, tiap pagi memandang wajah tampan dan mata jernih itu," kata peri hutan.

"Apa dia tampan dan matanya jernih?" jawab telaga.

''Lho, kamu melihatnya tiap pagi bukan?"

"Tidak. Aku tak sempat
melihatnya sebab tiap kali ia jongkok di tepiku, aku sibuk memandang kejernihan wajahku
sendiri yang terpantul di matanya."

Saya kagum membaca
ketangkasan humor novelis ini. Dengan ringkas dan bagus ia
hendak mengatakan, seperti para psikolog yang berurusan dengan
"abnormalitas"—bahwa si telaga, mungkin maksudnya kita—sering
lebih narsisisus dari pada Narsisus sendiri. Sering kita berperilaku tak sehat, narsisme, tetapi tak menyadari bahwa kita mengidap
gangguan jiwa.

Gejala tak sehat ini direkam pula dalam buku Alice Miller, The
Drama of the Gifted Child: The Search for The True Self (Drama
Anak-Anak Kita: Membedah Sanubari Mencari Diri Sejati) yang
menguraikan betapa berjuta-juta anak di dunia menjadi korban
watak narsisme orangtua mereka sendiri.
Kemudian anak-anak itu berangkat dewasa, secara narsistis
pula. Dan ketika menjadi orangtua, mereka pun memperlakukan anak-anak seperti dulu mereka diperlakukan
secara tak sehat.

Cinta orang tua yang narsistis tadi, pada hakikatnya wujud cinta
pada diri mereka sendiri. Orangtua menyayangi anak
bukan demi si anak melainkan demi diri sendiri.

Dan kita pun sering
diperhadapkan pada sikap tak terduga. Anak yang tampak manis dan lembut, ternyata
menyimpan potensi "bom" rasa cemas, takut, frustrasi, juga
dendam secara sosial, dan dengan mudah meledak. Anak
bunuh diri tanpa alasan masuk akal. Orang dewasa membunuh
dengan kejam orangtua, istri,
suami, atau anak sendiri juga tanpa alasan masuk akal.
Tentu saja tak masuk akal, sebab semua alasan terpendam di
bawah sadar,disembunyikan
rapat di balik rasa cemas yang disulap menjadi kepatuhan.
Mereka patuh bukan karena patuh, tapi karena takut.
Menjadi anak saja sudah sulit.
Apa lagi menjadi anak di dalam keluarga otoriter. Menjadi rakyat
itu sulit, jalanan macet, dan harus mengalah dengan frustrasi tiap
kali ada pejabat lewat dengan kawalan polisi.
Kita takut pada orangtua otoriter,
guru galak, polisi, satpam,
tentara, pengawal presiden atau
wakil presiden, ajudan menteri yang lebih dari menteri, atasan di
kantor yang melebihi kuasa Tuhan, dan sikap banyak Bank
yang mempekerjakan preman kejam menjadi "debt collector"
berjiwa jin dan hantu.

Mengapa kita sering membikin takut orang lain, dengan rasa
bangga? Mengapa kecemasan orang lain menjadi kebahagiaan
kita? Mungkin karena kita pun tak sepenuhnya waras.
Para selebriti—intelektual
maupun yang sama sekali tidak
intelek dan sebetulnya
membosankan —hati-hatilah
terhadap pengagum, atau pencinta fanatik. Banyak tokoh
dunia dibunuh —juga Ghandi
yang mulia dan agung—oleh
pencinta dan pengagum
fanatiknya.

Mengapa banyak pencinta dan pengagum fanatik pada tokoh
publik? Mungkin karena pada dasarnya banyak orang tak pernah mendapat —dan karena itu membutuhkan—cinta dan kekaguman. Lalu mereka mengagumi orang lain demi diri
mereka sendiri.

Pengagum sobat saya, kiai AAgym, berbalik menjadi dengki, marah, mengutuk, karena sobat
ini dianggap cermin diri mereka, tapi cermin itu dibikin retak. Diri
mereka yang cemas, merasa kurang, merasa rendah, dan berharap, tiba-tiba dikecewakan.
Dulu AAgym pasti tak terlalu sadar bahwa kekaguman yang
menjulang ke langit dari begitu banyak warga yang butuh kagum, pada dasarnya juga
potensi kebencian. Kiai ini mungkin mengira mereka kagum pada dirinya, padahal orang-
orang itu kagum hanya pada diri mereka sendiri seperti Narsisus dan Telaga dungu itu,
Cinta mereka tak sama dengan cinta pada Negara, yang menurut
John Lenon membuat orang rela "to kill or die for" rela berkorban.

Cinta dan kekaguman publik pada tokoh agama, seni, ilmu,
filsafat, dan tokoh politik yang bisa mudah menang pemilu,
disertai "bom" kemarahan,
jengkel, kecewa, benci, dan niat balas dendam, dari memanggul setinggi langit ke niat mengubur
dalam-dalam hingga kebencian terpuaskan.

Sekarang para tokoh politik mungkin mulai sadar, betapa tak sehat suasana pemujaan politik di masyarakat. Sang Terpuja, pelan-
pelan diancam kebencian, kemarahan, rasa kecewa, frustrasi, dan serangan politik
bertubi-tubi. Musuh politik menari-nari di atas kebencian
terhadap orang lain.
Ini pun sebenarnya kedunguan yang tak disadari. Dikiranya
dirinya tak mungkin dikenai sikap serupa. Kenapa kita tak mampu
mengelola cinta dan kekaguman tetap menjadi cinta dan
kekaguman?
Karena kita terbius popularitas.
Kita terbius aroma pujaan, dan
lupa membalas dengan kerja keras untuk mewujudkan harapan.

Jangan lupa, di dunia
politik, pendukung, pencinta, pemuja, tim sukses, intinya
mendukung, mencintai, memuja dan menyukseskan harapan
mereka sendiri. Begitu harapan dikecewakan, mereka siap mengasah pedang pembunuh
naga.

Pengagum, atau pemuja, juga dungu. Orang kok dipuja. Salah
sendiri. Watak fanatis harus diubah. Kita mencintai, atau memuja secara dewasa. Dan
kalau orang cukup dewasa, ia tak perlu pujaan. Akal, rasionalitas,
dan hati harus seimbang supaya kita bisa meminta dan bisa
memberi.

Kalau memberi—cinta dan pemujaan—ya harus memberi.
Kita tak boleh terus-menerus
naïf, cengeng dan mentah dalam
menyikapi tokoh. Kita tak boleh terlalu dekat Narsisus.

0 komentar:

Post a Comment