Pages

Thursday 7 April 2011

PEREMPUAN......OH.....PEREMPUAN

Bagaimanakah persisnya

gambaran kita tentang wanita?



Seperti Shinta yang setia, tabah,

dan sabar menahan derita?

Seperti

Srikandi yang kenes, tangkas, dan

cenderung tregal-tregel ning ora

mbebayani (agak sembrono tapi

tak membahayakan)?

Ataukah

seperti Sarinah, sebagaimana

dimaksudkan Soekarno?



Dunia berputar. Dan di dalamnya,

wanita pun berubah. Soekarno

salah dalam satu hal: wanita tak

lagi dikungkung seperti dulu.



Sudah umum sekarang bahwa

wanita punya kebebasan seperti

pria. Artinya, wanita juga bekerja

di berbagai sektor, tempat laki-laki

bisa bekerja. Dan, akibatnya,

wanita pun tak lagi bergantung

sepenuhnya pada pria. Toko dan

warung di daerah pedesaan

banyak yang berkembang di

bawah kendali wanita.



Tak jarang wanita menjadi kepala

keluarga. Juga tak jarang terjadi,

laki-laki –yang memegang warisan

tradisi sebagai pelindung keluarga

itu – dalam praktek justru

dilindungi sang wanita. Dan

banyak laki-laki tidak merasa

malu.



Tapi secara sosial maupun kultural

pengakuan kita atas peran wanita

masih kurang. Persepsi kultural

kita masih tetap menjadikan wanita

“ korban”. Misalnya, betapapun

jelasnya kontribusi ekonomi kaum

wanita bagi keluarga, diakui umum

bahwa pekerjaan wanita –seperti

disebut dalam penelitian Celia E.

Mather mengenai wanita pekerja

di Tangerang – dianggap cuma

“daripada menganggur”.

Kecuali

itu, ada anggapan (tentu saja di

kalangan pria) yang bersifat

gender specific bahwa jenis

pekerjaan tertentu tak layak

dikerjakan pria, karena ia “cuma”

pekerjaan wanita.



Diskriminasi atas wanita terjadi di

rumah tangga atau di pabrik. Di

rumah, seperti dilaporkan Diane

Wolf dari penelitiannya tentang

wanita pekerja di Jawa Tengah,

kontribusi ekonomi wanita

dianggap sekunder, cuma

melengkapi hasil pria. Di pabrik,

kata Mather, mereka dibayar

cuma tiga perempat jumlah gaji

pria, biarpun sering mereka harus

bekerja lebih keras dari lawan

jenisnya itu.



Pendek kata, sampai saat ini

anggapan tradisional tentang

superioritas pria atas wanita belum

tertumbangkan. Benar, wanita

“ dimahkotai” aneka sebutan: tiang

masyarakat, surga di bawah

telapak kaki ibu, atau

dilambangkan sebagai bunga, dan

diluhurkan sebagai ratu. Gadis

paling cantik di desa disebut

bunga desa. Dan di kota-kota

gadis cantik, gadis luwes, gadis

tangkas, dijuluki dengan aneka

ratu.



Kalau dipikir-pikir, perlakuan

istimewa bagi anak wanita dalam

keluarga –misalnya anak wanita

harus dijaga baik-baik– ternyata

diam-diam mengandung “muatan”

kepentingan seks buat laki-laki.

Artinya, kalau ke mana saja anak

dijaga, diharapkan tetap “murni”

dan itu nantinya biar

menyenangkan laki-laki

(suaminya).



Di dunia wayang, tiap wanita

muncul disambut dengan suluk ki

dalang: Wanodya ayu tama

ngambar arum. Ngambar aruming

kusuma … (wanita cantik

memancarkan harum bunga).

Bunga apa, tidak penting. Tapi,

melihat seorang wanodya (cewek)

cuma dari sudut kecantikannya,

sungguh bisa bikin merah muka

kaum feminis.



Mereka akan lebih marah melihat

persepsi kultural Jawa atas wanita:

Wanita ateges wani ditata

(namanya juga wanita, ia harus

rela diatur, taat pada tatanan).

Siapa yang bikin tatanan?

Mungkin ayah, mungkin suami.

Dan kita tahu, ayah dan suami

bukan wanita, tapi laki-laki.

Jadinya, wanita harus taat, tunduk

pada laki-laki.

Mengapa begitu? Soalnya, wanita

itu ibarat awan dadi theklek,

bengine ganti dadi lemek (siang

menjadi bakiak, malamnya naik

pangkat menjadi alas untuk

ditindih).

Dan siapa membaca Gadis Pantai-

nya Pramudya Ananta Toer, akan

jelas betapa rendah status wanita

di kalangan santri-priayi (Geertz

akan pusing melihat kombinasi ini)

di masyarakat Jawa. Di kalangan

itu, wanita cuma tempat

menumpahkan benih. Selebihnya

babu atau budak.



Adalah juga orang Jawa yang

menempatkan peran wanita dalam

formulasi “3 ah” sesuai dengan

sebutan traditional gender-based

ideology: yakni neng omah (di

rumah), olah-olah (memasak), dan

mlumah, ngablah-ablah (maaf,

menelentang seseksi mungkin).



Maksudnya, supaya sinuwun sang

suami menjadi sangat berkenan di

hati. Posisi wanita dalam persepsi

Jawa cuma bergerak antara dua

kutub: budak dan klangenan

(barang, supaya tidak bilang

hewan, piaraan).



Dalam ketoprak dan wayang,

gambaran itu tidak menyimpang

secuil pun. Wanita yang mencoba

mendekati pria karena jatuh cinta

disebut ngunggah-unggahi atau

suwita, artinya mengabdi. Dan,

kelak, bila sang pria tak lagi

berkenan, wanita rela saja diusir

jauh-jauh.



Hubungan kesederajatan antara

pria dan wanita, pendeknya,

belum pernah ada. Gagasan

wanita ateges wani ditata, dan

konsep ngunggah-unggahi atau

suwita dan ejekan awan dadi

theklek, bengi dadi lemek jelas

menggambarkan adanya ideologi

penindasan pria atas wanita.



Tapi tampaknya, di bawah

penindasan itu wanita menemukan

juga sejenis kenikmatan. Mungkin

karena ada sejenis sifat cenderung

“ menyiksa” diri, mungkin juga

karena ketakberdayaan. Atau

jangan-jangan wanita-wanita

cenderung jadi Shinta?

Mungkin bukan. Barangkali,

wanita adalah sebuah piala cantik

yang retak: ia terombang-ambing

antara hasrat untuk tetap dalam

posisi “tradisional” di rumah

sebagai wanodya ayu tama yang

“ mengabdi” dan kecenderungan

untuk menuntut kebebasan.tidak

usah dibikin resah wanita itu tlah

resah..

0 komentar:

Post a Comment