Bagaimanakah persisnya
gambaran kita tentang wanita?
Seperti Shinta yang setia, tabah,
dan sabar menahan derita?
Seperti
Srikandi yang kenes, tangkas, dan
cenderung tregal-tregel ning ora
mbebayani (agak sembrono tapi
tak membahayakan)?
Ataukah
seperti Sarinah, sebagaimana
dimaksudkan Soekarno?
Dunia berputar. Dan di dalamnya,
wanita pun berubah. Soekarno
salah dalam satu hal: wanita tak
lagi dikungkung seperti dulu.
Sudah umum sekarang bahwa
wanita punya kebebasan seperti
pria. Artinya, wanita juga bekerja
di berbagai sektor, tempat laki-laki
bisa bekerja. Dan, akibatnya,
wanita pun tak lagi bergantung
sepenuhnya pada pria. Toko dan
warung di daerah pedesaan
banyak yang berkembang di
bawah kendali wanita.
Tak jarang wanita menjadi kepala
keluarga. Juga tak jarang terjadi,
laki-laki –yang memegang warisan
tradisi sebagai pelindung keluarga
itu – dalam praktek justru
dilindungi sang wanita. Dan
banyak laki-laki tidak merasa
malu.
Tapi secara sosial maupun kultural
pengakuan kita atas peran wanita
masih kurang. Persepsi kultural
kita masih tetap menjadikan wanita
“ korban”. Misalnya, betapapun
jelasnya kontribusi ekonomi kaum
wanita bagi keluarga, diakui umum
bahwa pekerjaan wanita –seperti
disebut dalam penelitian Celia E.
Mather mengenai wanita pekerja
di Tangerang – dianggap cuma
“daripada menganggur”.
Kecuali
itu, ada anggapan (tentu saja di
kalangan pria) yang bersifat
gender specific bahwa jenis
pekerjaan tertentu tak layak
dikerjakan pria, karena ia “cuma”
pekerjaan wanita.
Diskriminasi atas wanita terjadi di
rumah tangga atau di pabrik. Di
rumah, seperti dilaporkan Diane
Wolf dari penelitiannya tentang
wanita pekerja di Jawa Tengah,
kontribusi ekonomi wanita
dianggap sekunder, cuma
melengkapi hasil pria. Di pabrik,
kata Mather, mereka dibayar
cuma tiga perempat jumlah gaji
pria, biarpun sering mereka harus
bekerja lebih keras dari lawan
jenisnya itu.
Pendek kata, sampai saat ini
anggapan tradisional tentang
superioritas pria atas wanita belum
tertumbangkan. Benar, wanita
“ dimahkotai” aneka sebutan: tiang
masyarakat, surga di bawah
telapak kaki ibu, atau
dilambangkan sebagai bunga, dan
diluhurkan sebagai ratu. Gadis
paling cantik di desa disebut
bunga desa. Dan di kota-kota
gadis cantik, gadis luwes, gadis
tangkas, dijuluki dengan aneka
ratu.
Kalau dipikir-pikir, perlakuan
istimewa bagi anak wanita dalam
keluarga –misalnya anak wanita
harus dijaga baik-baik– ternyata
diam-diam mengandung “muatan”
kepentingan seks buat laki-laki.
Artinya, kalau ke mana saja anak
dijaga, diharapkan tetap “murni”
dan itu nantinya biar
menyenangkan laki-laki
(suaminya).
Di dunia wayang, tiap wanita
muncul disambut dengan suluk ki
dalang: Wanodya ayu tama
ngambar arum. Ngambar aruming
kusuma … (wanita cantik
memancarkan harum bunga).
Bunga apa, tidak penting. Tapi,
melihat seorang wanodya (cewek)
cuma dari sudut kecantikannya,
sungguh bisa bikin merah muka
kaum feminis.
Mereka akan lebih marah melihat
persepsi kultural Jawa atas wanita:
Wanita ateges wani ditata
(namanya juga wanita, ia harus
rela diatur, taat pada tatanan).
Siapa yang bikin tatanan?
Mungkin ayah, mungkin suami.
Dan kita tahu, ayah dan suami
bukan wanita, tapi laki-laki.
Jadinya, wanita harus taat, tunduk
pada laki-laki.
Mengapa begitu? Soalnya, wanita
itu ibarat awan dadi theklek,
bengine ganti dadi lemek (siang
menjadi bakiak, malamnya naik
pangkat menjadi alas untuk
ditindih).
Dan siapa membaca Gadis Pantai-
nya Pramudya Ananta Toer, akan
jelas betapa rendah status wanita
di kalangan santri-priayi (Geertz
akan pusing melihat kombinasi ini)
di masyarakat Jawa. Di kalangan
itu, wanita cuma tempat
menumpahkan benih. Selebihnya
babu atau budak.
Adalah juga orang Jawa yang
menempatkan peran wanita dalam
formulasi “3 ah” sesuai dengan
sebutan traditional gender-based
ideology: yakni neng omah (di
rumah), olah-olah (memasak), dan
mlumah, ngablah-ablah (maaf,
menelentang seseksi mungkin).
Maksudnya, supaya sinuwun sang
suami menjadi sangat berkenan di
hati. Posisi wanita dalam persepsi
Jawa cuma bergerak antara dua
kutub: budak dan klangenan
(barang, supaya tidak bilang
hewan, piaraan).
Dalam ketoprak dan wayang,
gambaran itu tidak menyimpang
secuil pun. Wanita yang mencoba
mendekati pria karena jatuh cinta
disebut ngunggah-unggahi atau
suwita, artinya mengabdi. Dan,
kelak, bila sang pria tak lagi
berkenan, wanita rela saja diusir
jauh-jauh.
Hubungan kesederajatan antara
pria dan wanita, pendeknya,
belum pernah ada. Gagasan
wanita ateges wani ditata, dan
konsep ngunggah-unggahi atau
suwita dan ejekan awan dadi
theklek, bengi dadi lemek jelas
menggambarkan adanya ideologi
penindasan pria atas wanita.
Tapi tampaknya, di bawah
penindasan itu wanita menemukan
juga sejenis kenikmatan. Mungkin
karena ada sejenis sifat cenderung
“ menyiksa” diri, mungkin juga
karena ketakberdayaan. Atau
jangan-jangan wanita-wanita
cenderung jadi Shinta?
Mungkin bukan. Barangkali,
wanita adalah sebuah piala cantik
yang retak: ia terombang-ambing
antara hasrat untuk tetap dalam
posisi “tradisional” di rumah
sebagai wanodya ayu tama yang
“ mengabdi” dan kecenderungan
untuk menuntut kebebasan.tidak
usah dibikin resah wanita itu tlah
resah..
Copyright (c) 2010 IDEOLOGI SIKAP OTAK. Design by Wordpress Themes Park
0 komentar:
Post a Comment