Pages

Thursday, 7 April 2011

sekterisme

Dalam percaturan politik kita, akhir-akhir ini, sikap non sektarian
muncul seperti obat penenang. Ia
mengesankan sebuah jalan keluar. Sekurangnya, sebuah
upaya mencari jalan keluar itu.

Bagi saya, nonsektarian itu sebuah mantra. Ia merupakan bahasa para empu, begawan,
atau resi. Dengan kata lain, bahasa para pendekar di atas
angin, yang tidak punya pamrih politik, karena “kerajaan” mereka
pada hakikatnya memang bukan
di dunia fana ini.

Menurut fitrah semula, tiap diri di antara kita telah dibekali oleh
alam sikap nonsektarian ini. Kita bersedia dilahirkan lewat gua
garba ibu yang mana pun. Kita
patuh dilahirkan di dalam lingkungan macam apa pun. Tapi,
tiap kelompok sosial di mana kita
lahir, kondisinya kurang lebih sama: kita seolah lahir di dalam
sebuah “peti” sempit. Kita lalu belajar bahasa yang lazim digunakan di dalam “peti” itu.
Kita menjunjung tradisi yang berlaku di dalam “peti”.
Selanjutnya, kita pun lalu menganut agama “peti”, membentuk organisasi sosial
“ peti”, dan bergabung dalam partai politik “peti”.
Alhasil, kita makhluk yang ditempa di dalam “peti”. Ada, memang, ada yang seolah tetap
dalam fitrah semula: bisa membebaskan dirinya dari kungkungan semua “peti”. Daya
nalarnya menembus batas-batas “ peti”. Orientasinya di atas semua warna “peti”. Wawasannya tidak
“peti” sentris.Katakanlah, jiwanya
relatif bebas –dibanding
mayoritas umat yang lain– dari ikatan budaya kelompok atau golongan.
Secara teknis, bisa disebut bebas dari segenap ikatan primordial.

Cantelan perjuangannya bukan
kelompok. Pemihakannya bukan
“ warna” golongan. Aspirasinya universalisme, bukan
partikularisme. Dia “mengabdi”
kepada roh, bukan kepada badan.
Orang, golongan, atau kelompok,
baginya tidak ada. Dalam benaknya, yang ada cuma manusia. Satuan waktu dalam
perjuangannya tak ditentukan secara teknis-birokratis dalam
ukuran cuma tahun atau tahap- tahap Pelita, melainkan abad. Dia, pokoknya, orang dengan skala
serba besar. Dia bukan orang biasa.

Warga desa berduyun-duyun
memilih. Para pejabat dari Kabupaten kediri dan Kecamatan
mojoroto menjadi saksi pemilihan demokratis itu. Ada sport jantung, tentu, di kalangan para pendukung masing-masing calon, yang jumlahnya ada tiga orang. Calon
pertama adalah orang dari keluarga terpandang. Calon
kedua juga orang yang
berkecukupan. Tapi, calon ketiga
“ cuma” tukang daging. Orang pun menduga, calon dari keluarga terpandang itu bakal
keluar sebagai pemenang. Tapi,
dugaan itu meleset.
Pemenangnya justru tukang daging yang tak pernah diperhitungkan itu.
Apa sebenarnya yang telah terjadi di dalam masyarakat kita?
Rakyat makin pandai? Mereka makin sadar politik? Apa permainan politik mereka makin
canggih?
Peristiwa itu, mungkin, sama mengherankannya dengan apa
yang terjadi di desa-desa Jateng
pada ketika kotak-kotak kosong memenangkan pemilihan kepala
desa.
Saya menonton “pameran”
demokrasi desa tadi bersama para tukang ojek dari Di pangkalan ojek, saya bertanya
pada abang-abang itu soal pemilihan yang baru saja berlangsung.

“Apa dasar orang memilih seorang calon?” tanya saya.

“Milih mah milih aje,” sahut Bang Odi.

“Milih yang satu partai?”

“Ya kaga dong,” sahut Bang Gimun.

“Milih teman sekampung?”

“Belon tentu juga,” sahut Bang

Gimun lagi.
“Milih anggota ABRI?”

“Kaga juga. Buktinya kediri calon ABRI kalah ame calon orang sipil, ” sahut Bang Rojak.

“Milih orang terpandang?”

“Tadi, kan ada bukti barusan,
orang lebih terpandang dikalahin ame tukang daging ?” kata Bang
Odi lagi.

“Jaman sekarang mah orang kaga milih golongan, kaga liat pangkat.
yang penting mah pemimpin yang mikirin rakyat. Pemimpin
yang punya peratian ke kite-
kite, ” kata Bang Gimun lagi.

“Emang benar,” Bang Odi menyambung


Bagi saya,jawaban-jawaban ini
merupakan cerminan sikap skeptis terhadap orang atau golongan.

Tampak, di sini, bahwa
mereka pun tidak
memperlihatkan pemihakan pada
orang per orang atau golongan.
Artinya, ini pun kurang lebih sikap nonsektarian juga jadinya.

Apakah dengan demikian mereka
pendukung-pendukung Gus Dur?
Belum tentu. Bagi saya, mungkin malah sebaliknya. Suara
“ kasidahan” yang diperdengarkan
Gus Dur di tingkat nasional itu,
sebenarnya, hanya merupakan gaung yang lebih nyaring dari
suara “kasidahan” para kawulo kecil di tingkat lokal, termasuk di
kalangan tukang ojek . Dengan
kata lain, kiai kita sedang “menerjemahkan” isi hati mereka,agar bisa dipahami dalam konteks
yang lebih luas, buat kepentingan yang lebih besar. Pendeknya, kiai
kita mewakili kepentingan mereka. Yang, dalam percaturan
nasional, seolah hilang begitu saja dalam angka statistik; tanpa
suara, tanpa rupa.

0 komentar:

Post a Comment